“Beri aku sepuluh pemuda, niscya akan kuguncangkan dunia.“
Begitulah kata mutiara putra sang fajar, Soekarno bapak pendiri bangsa. Kalimat tersebut menggambarkan begitu kuatnya pengaruh pemuda menjadi tonggak kemajuan suatu bangsa. Namun ironis, negeri yang dengan jumlah usia produktif yang tinggi, seakan lumpuh dan terseok-seok menuju kemajuan dari segi karakter, ekonomi, politik maupun budaya. Bangsa Indonesia khususnya pemuda menjadi generasi yang semakin pudar karakternya dan semakin tergerus budaya aslinya sebab diterpa budaya asing dan dampak teknologi yang melanda seantero negeri.
Godaan teknologi menjadi momok tersendiri bagi penduduk usia produktif bahkan usia dini dalam mempengaruhi pertumbuhan karakternya. Paparan teknologi memang bak pisau bermata dua yang dapat menolong atau bahkan membunuh dirinya sendiri. Bayangkan, di era sebelum negeri ini merdeka tanpa adanya kecanggihan alat teknologi, pemuda mampu bersatu dan bersumpah menjunjung Indonesia satu. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya melebur menjadi kekuatan yang luar biasa hingga tercetus sumpah pemuda tanggal 28 oktober tahun 1928. Proklamasi Indonesia pun tak luput dari perjuangan pemuda di baliknya. Bagaimana jika pemuda tak nekat menculik dan memaksa Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan? Akan sampai kapan negeri ini berstatus negeri jajahan jika tanpa pemuda yang berani dan kuat karakternya seperti itu?
Jarak ruang maupun jarak waktu tak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersatu sebab adanya jarak psikologis mereka yang tak peduli sejauh mana fisik mereka terpisah, sebab satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang kuat mengakar ke dalam jiwa. Hal ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, khusunya para pemuda calon penerus bangsa. Saat negeri ini disibukkan dengan perebutan kekuasaan oleh golongan tua, ada saja pemuda yang acuh tak acuh yang tak menjadikan hal ini sebagai perenungannya untuk bertindak mengambil tongkat estafet kepemimpinan. Negeri ini akan hebat di tangan pemuda yang berkarakter Indonesia. Tetapi Indonesia yang mana? Yang sekarang atau yang dulu kala?
Beribu rintangan dan tantangan ada di depan mata. Mana peran para pemuda? Masihkah ringkih, rapuh dalam menatap masa depan sendiri? Terlebih lagi untuk masa depan bangsa. Mudahnya saat ini pemuda mengikuti pola hidup gemerlap yang menghasut dan memaksa diri terhanyut ke dalam kesenangan sesaat.
Apa makna sumpah yang menggema ke seantero negeri yang dipekikkan tajam oleh para pemuda? Hanyalah tinggal sejarah, sebatas seremonial, begitukah? Sumpah pemuda yang kini hanya dimaknai sebagai seremonial dan miskin dengan substansi di dalamnya, menjadi ironi dan semestinya menjadi ‘tamparan’ bagi pemuda yang tersebar di berbagai pulau negeri ini. Mengubur pesimistis, kita adalah bangsa yang besar. Banyak sekali pemuda yang sebenarnya mampu membuka mata dunia bahwa negeri kita sangatlah raya.
Pemuda saat ini dituntut perannya untuk membangun negeri dengan berbagai prestasi yang dapat ditorehkan, baik di negeri sendiri atau bahkan di mata dunia. Selain itu pemuda berperan sebagai penerus serta penggebrak semangat bagi golongan tua yang masih sibuk merebut kursi-kursi empuk kekuasaan. Pemuda adalah seorang yang berjiwa penyala dengan semangat yang membara dengan modal intektualitas dirinya yang bukan haus dengan kuasa, tetapi haus dengan ilmu, wawasan dan karya besarnya. Indonesia tetap tanah air kita yang akan selalu abadi dan berjaya hingga kita menutup mata.
Begitulah kata mutiara putra sang fajar, Soekarno bapak pendiri bangsa. Kalimat tersebut menggambarkan begitu kuatnya pengaruh pemuda menjadi tonggak kemajuan suatu bangsa. Namun ironis, negeri yang dengan jumlah usia produktif yang tinggi, seakan lumpuh dan terseok-seok menuju kemajuan dari segi karakter, ekonomi, politik maupun budaya. Bangsa Indonesia khususnya pemuda menjadi generasi yang semakin pudar karakternya dan semakin tergerus budaya aslinya sebab diterpa budaya asing dan dampak teknologi yang melanda seantero negeri.
Godaan teknologi menjadi momok tersendiri bagi penduduk usia produktif bahkan usia dini dalam mempengaruhi pertumbuhan karakternya. Paparan teknologi memang bak pisau bermata dua yang dapat menolong atau bahkan membunuh dirinya sendiri. Bayangkan, di era sebelum negeri ini merdeka tanpa adanya kecanggihan alat teknologi, pemuda mampu bersatu dan bersumpah menjunjung Indonesia satu. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya melebur menjadi kekuatan yang luar biasa hingga tercetus sumpah pemuda tanggal 28 oktober tahun 1928. Proklamasi Indonesia pun tak luput dari perjuangan pemuda di baliknya. Bagaimana jika pemuda tak nekat menculik dan memaksa Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan? Akan sampai kapan negeri ini berstatus negeri jajahan jika tanpa pemuda yang berani dan kuat karakternya seperti itu?
Jarak ruang maupun jarak waktu tak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersatu sebab adanya jarak psikologis mereka yang tak peduli sejauh mana fisik mereka terpisah, sebab satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang kuat mengakar ke dalam jiwa. Hal ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, khusunya para pemuda calon penerus bangsa. Saat negeri ini disibukkan dengan perebutan kekuasaan oleh golongan tua, ada saja pemuda yang acuh tak acuh yang tak menjadikan hal ini sebagai perenungannya untuk bertindak mengambil tongkat estafet kepemimpinan. Negeri ini akan hebat di tangan pemuda yang berkarakter Indonesia. Tetapi Indonesia yang mana? Yang sekarang atau yang dulu kala?
Beribu rintangan dan tantangan ada di depan mata. Mana peran para pemuda? Masihkah ringkih, rapuh dalam menatap masa depan sendiri? Terlebih lagi untuk masa depan bangsa. Mudahnya saat ini pemuda mengikuti pola hidup gemerlap yang menghasut dan memaksa diri terhanyut ke dalam kesenangan sesaat.
Apa makna sumpah yang menggema ke seantero negeri yang dipekikkan tajam oleh para pemuda? Hanyalah tinggal sejarah, sebatas seremonial, begitukah? Sumpah pemuda yang kini hanya dimaknai sebagai seremonial dan miskin dengan substansi di dalamnya, menjadi ironi dan semestinya menjadi ‘tamparan’ bagi pemuda yang tersebar di berbagai pulau negeri ini. Mengubur pesimistis, kita adalah bangsa yang besar. Banyak sekali pemuda yang sebenarnya mampu membuka mata dunia bahwa negeri kita sangatlah raya.
Pemuda saat ini dituntut perannya untuk membangun negeri dengan berbagai prestasi yang dapat ditorehkan, baik di negeri sendiri atau bahkan di mata dunia. Selain itu pemuda berperan sebagai penerus serta penggebrak semangat bagi golongan tua yang masih sibuk merebut kursi-kursi empuk kekuasaan. Pemuda adalah seorang yang berjiwa penyala dengan semangat yang membara dengan modal intektualitas dirinya yang bukan haus dengan kuasa, tetapi haus dengan ilmu, wawasan dan karya besarnya. Indonesia tetap tanah air kita yang akan selalu abadi dan berjaya hingga kita menutup mata.
Komentar
Posting Komentar