Langsung ke konten utama

Grand Pasific, Saksi Bisu Perjuanganku (episode Beswan Djarum)

Pagi itu di akhir semester empatku, meskipun tak banyak persiapan namun modal yakin dan doa ibu ku beranikan diri melangkah ke Gedung Grand Pasific (barat gedung TVRI Jogja). Masih sepagi itu, beriringan di jalan dengan pejuang-pejuang beralmamater beraneka rupa di kota pelajar ini. Perasaan ragu, cemas, minder dan nekat berbaur dalam diriku. Bagaimana bisa? Apakah mungkin?

Bathinku semakin bergemuruh dan mentalku diuji ketika melihat ribuan peserta (sepertinya) memadati gedung itu, terlebih lagi peserta dari kampusku hampir setengah dari total keseluruhan peserta.

 "Hei Tik! Kok kamu daritadi diem aja sih? Biasanya ceriwis banyak cerita," celetuk teman yang tampaknya keheranan.

"I..iyaa.. nggak kok, cuma dikit nervous," jawabku singkat.

Akhirnya pertarungan dimulai. Lebih tepatnya bertarung dengan kemampuan dan mental yang dimiliki diri sendiri. Sebenarnya aku sangat sangat malas, lebih tepatnya belum mau mengabari kedua orang tuaku terutama ibuku perihal aku mengikuti sesuatu seperti ini. Tapi entah dari hati terdalam serasa tergerak untuk memerintahkan jari-jariku untuk mengirimkan pesan singkat kepada ibuku yang jauh di seberang pulau di sana. Aku hanya bisa jujur sesuai apa yang aku rasakan bahwa pada saat itu aku sungguh-sungguh merasa kecil di antara ribuan mahasiswa yang luar biasa di kota ini. Namun ibuku menjawab, "Berusaha dong. Ibu mendoakan dari sini."

Mataku seperti penuh terisi hendak menumpahkan bulir-bulir yang bening di wajahku. Tapi sekuat tenaga ku tahan, sebab saat itu aku berada di kerumunan. Jika saat itu aku hanya sendiri, entah mungkin luapan emosi takkan terbendung lagi.

*Nantikan keberlanjutan kisahnya di episode 2 Beswan Djarum selanjutnya....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Kita yang Takkan Pernah Pupus Seperti Pohon Pinus

Makna kebersamaan yang tak pernah pupus, kokoh berdiri tegak dan lurus layaknya pohon pinus :) Wow! Pohon pinus. Aduuh gimana nih kalo tiba-tiba melankolis terus kesannya malah romantis? -_- hehe.. Tapi juga nggak begitu amat. Oke itu cukup jadi intro :p Ini merupakan perjalanan kita selepas dari Bumi Langit. Ini lah hutan pinus yang terletak di perbatasan Dlinggo, Bantul-Imogiri. Asri, sejuk dan aroma pinus ini menyusuri serambi dan bilik hati (kayak darah di jantung aja!). hehehe...

Watu Lawang, Poktunggal, 'Wani Perih' Bersama...

  Pantai Watu Lawang Pagi yang mendung dan penuh harapan ini beranjak menuju suatu yang telah lama diagendakan. Berselang berjam-jam dengan hambatan ini dan itu, tepatnya ketika matahari berada di atas kepala, satu per satu pantai-pantai di Gunung Kidul terlihat hingga akhirnya berhenti pada pantai ini. Pantai Watu Lawang, baru ini mendengar namanya. Meskipun dari nama mungkin kurang tenar, tetapi pantai ini tak kalah cantik dan asyiknya lagi serasa memiliki pantai pribadi. haha.. Seperti yang telah disebutkan tadi, salah satu hambatan yang menjadi pemanis perjalan kami, sepeda motor Yudhi ternyata bermasalah dan beruntung saat itu menemukan bengkel di kawasan jalan yang meliuk seperti ular yang mengitar, pemandangan karst di sana sini dan tentunya kawasan yang tak padat penduduk.

BeTe Banget Tau!

Padahal males banget mau cerita tapi gimana lagi ntar kepalaku pecah numpukin uneg-uneg in di kepala. Iyuuuhhh -_- Entah ga taulah apakah karena harapanku yang terlalu tinggi ato gimana, bikin ga enak banget kali ini. Aku ga ngerti gimana standar beliau itu. Aku cuma mempermasalahin standar penilaian yang sebenarnya juga aku tu males kalo kesannya semua itu demi nilai.