Langsung ke konten utama

Balutan Ketakutan di Balik Keberanian


Empat Sekawan di Puncak Nglanggeran

Kali ini cerita yang akan dituliskan mungkin akan ku biarkan mengalir seperti apa polosnya sang pendaki yang selama ini belum pernah menaklukan bebatuan raksasa di kegelapan malam dan ekstremnya alam.

Perjalanan panjang yang ku tempuh bersama mereka meskipun sebenarnya jika diukur jarak dan waktu tidaklah seberapa. Hanya saja kami saat itu harus melalui tahapan yang menguji mental dan keberanian kami. Hal yang baru pertama, benar-benar hal yang pertama kali ku lakukan saat itu. Keadaan genting yang memaksaku untuk melahap dan menyelesaikan semua demi takluknya tantangan itu di genggamanku.

Banyak sekali hal baru yang aku temui, banyak sekali hal berkesan yang aku hadapi. Perjalanan menuju gunung api purba yang rutenya ku bilang cukup ekstrem meskipun tak seekstrem ketika ke pantai di Gunung Kidul yang lalu. Boleh dibilang aku ini dulunya anak rumahan yang belum pernah menjelajah alam seindah itu. Itu dulu. Tetapi saat aku SMA mulai berteman dengan mereka yang gila akan petualangan, aku pun mau tak mau ikut menjadi bagian dari mereka.

Cerita ini akan ku bawa ke masa lalu. Pertama kali aku melakukan perjalanan jauh menembus batas kota menuju sudut desa perawan di sisi Kalimantan bagian selatan. Perjalanan itu ditempuh kurang lebih 120 menit dengan sepeda motor. Tentu saja aku tidak berani mengendarai, hanya bonceng dengan temanku yang secara postur tubuh lebih kecil dariku yang membuatku agak sangsi saat itu. Mungkin aku bilang mereka itu gadis gila atau apa ya? Haha… Betapa gilanya aku saat itu mengikuti jalur yang ditempuh dengan kecepatan berkendara yang tinggi, menyalip mobil di jalan yang kecil, itu membuatku merasa separuh jiwaku hendak mencapai Langit, antara hidup dan mati. Bayangkan saja, temanku itu seorang penderita asma akut, aku takut tiba-tiba kambuh dan wow! Aku banyak mengingat Tuhan saat itu. hahaha…

Yaa, itu awal yang lucu bagiku. Selepas itu aku tidak lagi merasa canggung untuk bepergian menjelajah alam Borneo meski jumlah alam yang kami jelajahi hanya dalam hitungan jari. Tak seberapalah dengan jumlah alam yang tersembunyi di Borneo yang di sana-sini semak-semak liar, alam yang perawan. Tetapi hal yang aku miriskan ketika saat itu nampaknya perhatian pemerintah akan potensi wisata di tanah banua ini masih belum sesuai harapan. Yaah, kekecewaanku saat itu. Alam yang benar-benar perawan, belum ada sentuhan ataupun polesan, waah…andaikan…entahlah!
Sebelum terlau jauh, aku putar kembali cerita ini ke masa sekarang. 

Berkelok-kelok, tikungan tajam menanjak yang sangat aku benci harus tetap dilewati. Jika harus aku sendiri yang melewati, aku tak bisa bayangkan. Mungkin aku akan pulang saja. Hahaha..
 Tidak lama yang lalu aku berwisata ke Kaliurang bersama keluargaku dan aku saat itu yang mengendarai. Betapa gilanya, aku tak sempat berpikir seperti apa rute yang harus dihadapi hanya euforia yang bergejolak demi memandang Merapi dari kedekatan. Gemetaran, mungkin salah satu bentuk expresi yang nampak saat aku harus melalui rute yang gila menurutku. Iya, yang benar saja aku belum pernah menemui rute yang seekstrem ini  di Kalimantan, terlebih di tempat tinggalku yang dataran rendah dan yang ku lalui setiap hari hanya jalanan datar padat merayap . Saat itu aku bertekad untuk tidakmengendarai sepeda motor sendiri ke Kaliurang, pertanda aku jera! Hahaha.. 

Sebelum gelap datang dan mendaki gunung batu itu, kami istirahat. Berfoto ria, menaiki bebatuan raksasa di depan kami dengan panorama matahari tenggelam eksotis sekali bagiku. Maklumlah, baru kali ini aku melihat alam yang berbeda, jika tidak percaya akan ku bawa kau ke Kalimantan dan akan tahu seperti apa Kalimantan itu, di kotaku yang di sana-sini pemandangan air dan air. 

Wah, sampai di sini ceritaku terkesan seperti komparasi saja. Yah sesuka hati penulis yang bercerita kan ya?

Selepas makan malam bersama yang dengan kesederhanaannya dan selepas mengggugurkan kewajiban empat rakaat, kami beranjak mendaki gunung hitam dalam pandanganku, tentu saja hanya sorot lampu senter yang menjadi penerang. Gila ini! Bebatuan dan pekatnya malam mau tidak mau harus ku taklukan. Membawa beban berat di punggung, menenteng kayu bakar di tangan, melalui tanjakan-tanjakan yang abnormal membuat nafasku tersengal-sengal. Aku tidak pernah sebelumnya seekstrem ini! Tapi aku punya tekad, biarpun perempuan tetapi harus kuat dan tidaklah mengeluhkan hal yang tidak perlu selama dirasa masih kuat. Sebelum aku berangkat menuju gunung api purba ini, aku diingatkan oleh keluargaku untuk berhati-hati terlebih dalam hal mistis yang mereka percayai. Aku memang orang yang tidak suka hal-hal mistis seperti itu, aku hanya menggantungkan diriku kepada yang Menciptaku. Sudah, itu saja tanpa aku harus menyembah alam atau melakukan perkara yang membuatku janggal.    

Sekian menit mendaki, sekian kali break menikmati kelelahan dan mengatur napas yang masih tersengal. Menikmati taburan bintang di langit dan di bumi luarbiasa indah meskipun sebenarnya belum mengobati lelahku saat itu. hehe..

Akhirnya puncak pun kami taklukan dan aku langsung saja berbaring di dalam tenda melepas kepenatan dan lelah yang teramat gila. Saat itu, telingaku ku pasang dengan sempurna dan mendengarkan perbincangan kelompok sebelah yang camping juga saat itu. Wah, betapa senangnya saat aku mengenal bahasa khas yang mereka gunakan. “Wow, satu rumpun”, kataku saat itu. Aku mulai memahami dan menginterpretasi bahasa mereka dengan dialek khas, meskipun dialek yang aku gunakan di kota asalku tak sekhas mereka tetapi aku mengenalinya. Bagaimana tidak, teman-teman akrabku berasal dari daerah kabupaten itu sehingga aku familiar dengan apa yang mereka lontarkan dari mulut mereka. Apalagi ketika mereka menyanyikan dan bermain Ampar-Ampar Pisang ingin sekali rasanya ikut bergabung, tetapi ku pikir saat itu belum pas saja. Ah, mungkin besok pagi saja aku berkenalan dengan mereka.

Aaaarrghh, tantangan belum selesai sampai di sini. Masih ada beberapa tantangan lagi yang harus dihadapi sebelum aku bisa tertidur pulas di dalam tenda. Permainan-permainan seru bersama tim juga berkesan. Saat itu aku bersama temanku mendapat tantangan memeperagakan beberapa kata, wah dengan kerjasama yang baik akhirnya kami menjadi peraga tercepat dan terbaik. Yes! Patut dibanggakan meskipun agak maksa. Hahahaa…

Selanjutnya sesi curahan hati, jeritan jiwa atau apalah terserah. Wuiih, yang benar saja KEPO banget menurutku ketika aku diminta harus bercerita tentang masa-masa yang pernah dilalui. Bagiku aku hanya menuangkan seadanya pertanda ada seperti itu saja, karena mengertilah aku ini orang yang introvert! Hehee…

Terakhir, aku mendapat bagian sesi curhat atau apalah itu bersama Pak Alip. Untung saja, aku bersyukur bisa cerita-cerita dengan beliau dan beliau juga bercerita tentang karya beliau dan gaya tulisan beliau. Karakterku yang dikomentari oleh beliau, mungkin yang dinilai beliau melalui tulisan-tulisanku membuatku yang awalnya hanya menerawang, sekarang sepertinya terang. Latar belakang diriku, seperti apa harapanku, kerinduan akan keluarga di pulau seberang menjadi bagian dalam cerita itu. Setelah aku selesai bercerita dengan beliau, aku kembali berkumpul bersama teman-temanku yang berbaring di bebatuan dan menatap bintang bertaburan.

Tak terasa, air mataku menetes setetes dua tetes dan bertetes-tetes namun tak deras di kegelapan. Aman. Tidak ada yang tahu. Aku menatap indahnya bintang, teringat dengan wajah ibu di sana. Bayangkan seperti apa aku rindunya berbulan-bulan tidak menatap wajahnya, menyentuh tangan lembutnya dan berada di dekatnya. Dan di bagian tulisan ini aku tidak bisa menahan kucuran airmata. Memperdengarkan kata kangen yang aku ucapkan di telinga ibu rasanya aku tak sanggup. Kemarin, untuk mengucap permintaan doa agar aku diberkahi di kota ini tidak kuat aku lontarkan dengan baik. Airmataku tiba-tiba mengucur deras, tangisan tersedu-sedu, dan kalimat yang terucap dengan terpatah-patah. Beliau tanyakan, “Kenapa menangis”, sekuat kemapuanku ku berkata, ”ka..-ng-ng..-en”. Oh ibu, maaf belum bisa memberimu apa-apa ketika aku masih di tahap ini. Doamu penguat bagiku.

Wah, jadi melankolis nih.  

Akhirnya setelah penutupan makrab kali ini, aku bisa tidur tenang di dalam tenda. Wah, ternyata tidak. Di utara dan selatanku masih terdengar orang-orang  bernyanyi, bercanda, ngobrol. Apalagi yang di selatanku. Sebenarnya aku sangat terganggu dengan obrolan mereka. Tetapi lucunya ketika aku tanya teman-temanku satu tenda, ternyata mereka tertidur pulas, sedikitpun tidak terganggu oleh tetangga sebelah. Wah, pikirku mungkin karena aku mengerti bahasa mereka dan bisa mengintrepretasikan sehingga aku menjadi agak geram saat itu. Ketika itu mereka asyik rayu-rayuan gombal. PeDeKaTe gitu. “Duuhh…ganggu nih orang”, dalam bathinku. Aku tidak bisa tidur nyeyak!
Pagi sekitar matahari telah meninggi aku bangun terlebih dulu dan membereskan barang-barangku sementara teman-temanku masih terlelap. Untungnya aku tidak boleh sholat shubuh saat itu jadi aku tidak khawatir ketika bangun kebablasan. Hehe..

Aku keluar tenda, ternyata ada Pak Alip yang sedang berbincang dengan seorang pemuda yamg camping di sebelah area kami dan menanyakan asalnya. Ternyata benar dugaanku mereka dari Kalimantan Selatan. Pak Alip pun langsung memperkenalkan aku bahwa aku juga dari Kalimantan. Nah, asyik dapat teman serumpun. Akhirnya inilah waktunya. Hahaha… Kami pun ngobrol beberapa hal tentang keberadaan komunitas Kalsel dan banyak hal tentangnya, ternyata dia juga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan kami pun bertukar nomor handphone agar bisa saling kontak dan memperluas jaringan. Hehee… (bukan modus!).

Kemah telah dirapikan, kami siap pulang. Sebelum pulang kami ke puncak terlebih dahulu menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Aku kembali ternganga, indahnyaa… Momen yang bagus untuk direkam dalam gambar.

Perjalanan kami mendaki gunung Ngalanggeran pun berakhir. Sebelum kami menuju rumah masing-masing, kami enam orang makan bersama di sebuah rumah makan Padang karena saat itu kami belum sarapan. Satu persatu mengantarkan teman kami pulang. Meski di akhirnya kami agak tersesat alias salah jalan karena salah satu akses jalan ditutup. Tetapi untunglah akhirnya sampai juga. Aku pun memisahkan diri pergi ke utara sendiri jauhnya, berharap cepat sampai dan melepas lelah sesampai di hunian nanti.

Wah, ternyata cukup panjang tulisanku. Sebelum bosan baiknya ku sudahi saja. Sekian. Tulisan ini entah termasuk dalam jenis apa, yang pasti unsur subjektivitasnya sangat tinggi. Bukan fiksi tetapi fakta. Semoga saja bisa disebut cerita perjalanan.   

*foto menyusul :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Bahasa Dunia

Bahasa merupakan alat/teknologi komunikasi yang pertama dan paling penting digunakan dalam interaksi. Entah bagaimana sejarah bahasa hingga bisa tercipta berbagai macam bahasa bahkan tak terhitung bahasa yang ada di dunia. Dalam satu negara saja sudah terdapat beberapa bahasa contohnya Indonesia yang kaya akan bahasa daerah. Jadi kemampuan orang Indonesia itu ternyata sebanding saja dengan kemampuan orang Barat misalnya yang mampu berbahasa Inggris, Jerman, Perancis dst. Sementara banyak juga orang Indonesia yang bisa banyak bahasa seperti bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Batak, dsb. Berbicara tentang bahasa dunia, bahasa Inggris tentunya merupakan bahasa kunci untuk membuka gerbang dunia internasional. Bukannya untuk melupakan atau tidak mencintai 'bahasa ibu' sendiri, namun bahasa Internasional dirasa begitu penting untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan wawasan di ranah dunia.  Banyak orang berlomba-lomba untuk dapat menguasai bahasa Inggris, baik mela...

Salak Pondoh Primadona Desa

Salak Pondoh Asli Turi Sleman Semilir angin dan aroma hutan sepanjang jalan menuju Turi menenangkan bagi yang jenuh dengan padat dan semrawutnya lalu lintas pusat kota Jogja dan aroma knalpot yang mencekik. Di sini, sepanjang memasuki Desa Wisata Agro yang terletak di kecamatan Turi kabupaten Sleman, Yogyakarta, pemandangan dari kanan dan kiri jalan layaknya disambut gerombolan pepohonan salak yang lebat melambai-lambai seakan menyambut kedatangan wisatawan. Namanya saja wisata agro, di sini yang dapat ditemukan lebih banyak pepohonan salak yang menjadi primadona warga sekitar yang terkenal hingga pelosok Asia. Benarkah? Tunggu ulasannya. Kebun-kebun salak diselingi pepohonan tinggi yang tak teratur memenuhi lahan di desa ini, entah berapa luas desa ini. Saya menyaksikan ada beberapa gapura desa yang saya lewati dan pada akhirnya sampai pada salah satu kebun salak yang kami singgahi. Alami, sangat alami fisik desa wisata ini, terlihat belum ada sentuhan dari inve...

Kisah Kita yang Takkan Pernah Pupus Seperti Pohon Pinus

Makna kebersamaan yang tak pernah pupus, kokoh berdiri tegak dan lurus layaknya pohon pinus :) Wow! Pohon pinus. Aduuh gimana nih kalo tiba-tiba melankolis terus kesannya malah romantis? -_- hehe.. Tapi juga nggak begitu amat. Oke itu cukup jadi intro :p Ini merupakan perjalanan kita selepas dari Bumi Langit. Ini lah hutan pinus yang terletak di perbatasan Dlinggo, Bantul-Imogiri. Asri, sejuk dan aroma pinus ini menyusuri serambi dan bilik hati (kayak darah di jantung aja!). hehehe...