Aku memulainya dari musim gugur.
Maple yang begitu anggun berdiri,
rela meranggas demi datangnya salju yang dirindu.
Cherry blossom yang tertawa merekah pun ikhlas melepas pakaian indah di setiap rantingnya.
Helai demi helai terlepas, melayang...mencium tanah.
Pengorbanan fase demi riuh rianya manusia.
Aku berfikir andai mereka apatis,
warna dunia mungkin tak banyak rupa.
Meski aku belum pernah menatap terlebih menyentuhnya,
aku merasa keindahannya tiada tara.
Butiran-butiran air yang membeku itu perlahan ikut terbawa arus gravitasi.
Maple yang tadinya jingga, berubah putih semua.
Cherry blossom yang tadinya ceria,
menjadi sendu tertutup salju.
Namun, itu perkara biasa.
Pengorbanan setiap musim, untuk terus berganti..
Mengikuti siklus Maha Pencipta.
Adakah manusia merasa perlu untuk berfilosofi ria?
Setiap kejadian alam penuh tersimpan makna.
Hikmah yang tak mudah terlihat itu, rapat tertutup oleh tabir di pikiran setiap masing-masing kita.
Tak selamanya malam itu menakutkan.
Adakah kita temukan bintang di siang bolong?
Yang centil kerdipannya, menebar pesona keanggunan malam berhias sinar rembulan.
Semakin gulitanya malam, semakin dekat tibanya fajar.
Buliran embun berjatuhan ke dedaunan pagi buta.
Aroma shubuh yang menggoda.
Mentari yang merekah nan cerah pun hadir menyambut.
Namun tak selamanya mentari menghibur.
Mentari pun turut berganti andai diperintahkan untuk bertukar posisi dengan sendunya siang.
Tetesan bening itu jatuh membasahi badan bumi.
Jauh meresap ke dalam, memberikan rona bahagia pada yang merindukannya.
Kabut dan mendung yang begitu indah ku rasakan,
mungkin akan terasa aneh terdengar di telinga orang.
Yaah..
But that's me.
Andai aku seperti air,
filosofikan saja sifat air itu seperti apa.
Namun aku sadar, tak semua air yang mampu menerangi gulita.
Tak semua air diusapkan ke wajah.
Itulah mengapa aku jatuh cinta pada mereka.
Semua berangkat dari filosofi yang ada...
Maple yang begitu anggun berdiri,
rela meranggas demi datangnya salju yang dirindu.
Cherry blossom yang tertawa merekah pun ikhlas melepas pakaian indah di setiap rantingnya.
Helai demi helai terlepas, melayang...mencium tanah.
Pengorbanan fase demi riuh rianya manusia.
Aku berfikir andai mereka apatis,
warna dunia mungkin tak banyak rupa.
Meski aku belum pernah menatap terlebih menyentuhnya,
aku merasa keindahannya tiada tara.
Butiran-butiran air yang membeku itu perlahan ikut terbawa arus gravitasi.
Maple yang tadinya jingga, berubah putih semua.
Cherry blossom yang tadinya ceria,
menjadi sendu tertutup salju.
Namun, itu perkara biasa.
Pengorbanan setiap musim, untuk terus berganti..
Mengikuti siklus Maha Pencipta.
Adakah manusia merasa perlu untuk berfilosofi ria?
Setiap kejadian alam penuh tersimpan makna.
Hikmah yang tak mudah terlihat itu, rapat tertutup oleh tabir di pikiran setiap masing-masing kita.
Tak selamanya malam itu menakutkan.
Adakah kita temukan bintang di siang bolong?
Yang centil kerdipannya, menebar pesona keanggunan malam berhias sinar rembulan.
Semakin gulitanya malam, semakin dekat tibanya fajar.
Buliran embun berjatuhan ke dedaunan pagi buta.
Aroma shubuh yang menggoda.
Mentari yang merekah nan cerah pun hadir menyambut.
Namun tak selamanya mentari menghibur.
Mentari pun turut berganti andai diperintahkan untuk bertukar posisi dengan sendunya siang.
Tetesan bening itu jatuh membasahi badan bumi.
Jauh meresap ke dalam, memberikan rona bahagia pada yang merindukannya.
Kabut dan mendung yang begitu indah ku rasakan,
mungkin akan terasa aneh terdengar di telinga orang.
Yaah..
But that's me.
Andai aku seperti air,
filosofikan saja sifat air itu seperti apa.
Namun aku sadar, tak semua air yang mampu menerangi gulita.
Tak semua air diusapkan ke wajah.
Itulah mengapa aku jatuh cinta pada mereka.
Semua berangkat dari filosofi yang ada...
Komentar
Posting Komentar