Langsung ke konten utama

Entahlah

Mentari datang lagi.
Sembari menatapi si merah ku isi hari-hariku dengan harapan.
Hujan setahun cukup dibalas cerah sehari.
Kala kabut menyelimuti pikiran.
Mendung menghiasi hati.
Pekat, hitam, legam...
Tergopoh-gopoh, meraba..., menerka!
Buta dengan segala kegelapan yg ada.
Roda zaman menggilas terseret tertatih-tatih.
Sungguh merugi pabila tak ada suatu yg jelas untuk dituju.
Mengenang sejenak perjalanan yg tersirat dalam untaian kata.
Mimpi di atas mimpi yg sungguh tak dikehendaki.
Segenggam asa, tekad yg membaja dan dengan segala apa yg ada.
Memburu butiran-butiran cinta.
Entah di mana? Di mana?
Hanya mengekor angin, begitukah?
Musafir cinta yg tersesat di padang  Sahara.
Mendapati oase di seberang sana sungguh mampu menunda perginya nyawa.
Desiran pasir, bisikan angin merayu ‘tuk bertahan dan bertahan.
Mengajarkan yg lurus itu lurus, yg berliku pun nampak jelas.
Rajutan kalimah syukur menari-nari di lautan tinta.
Melingkarkan pena, membasahi kertas dengan coretan yg bermakna.
Tapi ku tak hilang rasa.
Tak ingin mencinta pada yg belum pantas mendapatnya.
Tak ingin disentuh, biarkan tetap utuh tak tersentuh.
Hingga ada kalimah yg mampu meruntuhkan langit hati.
Yg menggetarkan langit dan bumi beserta isinya.
Makhluk langit pun menyunggingkan senyum.
Sucikan hatiku dengan debu.
Debu cinta yg ‘kan ku usap ke wajah walau sebelumnya rela diinjak.
Mulia..sungguh mulianya ia...

Namun kala kau obral janji palsu.
Kau gadaikan harga dirimu demi puaskan nafsu.
Menebarkan jala asmara.
Tak sedikit yg terperangkap.
Ya itu memang maumu.
Menaburkan aroma luka.
Dunia menangis dan kau meringis!
Hawa dicipta tak untuk dipermainkan.
Tak untuk diujicobakan.
Bukan kelinci ataupun mencit percobaan!
Tapi ia hanyalah tulang rusuk yg bengkok.
Ia kaca yg berdebu.
Obralan gombal mampu mengangkatnya tinggi ke langit.
Janji palsu cukup meruntuhkan angan yg terpatri dalam diri.
Lembut tak berarti lemah.
Diam tak berarti tak berbuat sama sekali.
Baru ku sadari bahwa Hawa lebih survive.
Tak sedikit Hawa yg mampu tegar menelan pahitnya kehidupan.
Nafsu yg  mendominasi.
Akal yg terdominasi.
Karenanya mengapa disebut ‘hawa nafsu’.
Awan kembali berarak.
Hijaunya permadani alam melepas penat pandangan akan sibuknya dunia.
Tetes embun basahi hati ini dengan syahdunya.
Memori yg telah lama terekam dalam benak kembali terlintas.
Semua memang hanya kenangan, ya...cukup untuk dikenang.

Sekarang sibukkan  diri menimba ilmu, terus tiada henti hingga kain kafan melilit tubuh ini.Fokuslah pada apa yg diimpikan namun bukan dengan menjadikan diri  sebagai pelacur intelektual yg menjadi cikal bakal meningkatnya korup di negeri ini.
*Semua dimaksudkan untuk tersirat dan pandangan masing-masing orang berbeda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Bahasa Dunia

Bahasa merupakan alat/teknologi komunikasi yang pertama dan paling penting digunakan dalam interaksi. Entah bagaimana sejarah bahasa hingga bisa tercipta berbagai macam bahasa bahkan tak terhitung bahasa yang ada di dunia. Dalam satu negara saja sudah terdapat beberapa bahasa contohnya Indonesia yang kaya akan bahasa daerah. Jadi kemampuan orang Indonesia itu ternyata sebanding saja dengan kemampuan orang Barat misalnya yang mampu berbahasa Inggris, Jerman, Perancis dst. Sementara banyak juga orang Indonesia yang bisa banyak bahasa seperti bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Batak, dsb. Berbicara tentang bahasa dunia, bahasa Inggris tentunya merupakan bahasa kunci untuk membuka gerbang dunia internasional. Bukannya untuk melupakan atau tidak mencintai 'bahasa ibu' sendiri, namun bahasa Internasional dirasa begitu penting untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan wawasan di ranah dunia.  Banyak orang berlomba-lomba untuk dapat menguasai bahasa Inggris, baik mela...

Kisah Kita yang Takkan Pernah Pupus Seperti Pohon Pinus

Makna kebersamaan yang tak pernah pupus, kokoh berdiri tegak dan lurus layaknya pohon pinus :) Wow! Pohon pinus. Aduuh gimana nih kalo tiba-tiba melankolis terus kesannya malah romantis? -_- hehe.. Tapi juga nggak begitu amat. Oke itu cukup jadi intro :p Ini merupakan perjalanan kita selepas dari Bumi Langit. Ini lah hutan pinus yang terletak di perbatasan Dlinggo, Bantul-Imogiri. Asri, sejuk dan aroma pinus ini menyusuri serambi dan bilik hati (kayak darah di jantung aja!). hehehe...

Watu Lawang, Poktunggal, 'Wani Perih' Bersama...

  Pantai Watu Lawang Pagi yang mendung dan penuh harapan ini beranjak menuju suatu yang telah lama diagendakan. Berselang berjam-jam dengan hambatan ini dan itu, tepatnya ketika matahari berada di atas kepala, satu per satu pantai-pantai di Gunung Kidul terlihat hingga akhirnya berhenti pada pantai ini. Pantai Watu Lawang, baru ini mendengar namanya. Meskipun dari nama mungkin kurang tenar, tetapi pantai ini tak kalah cantik dan asyiknya lagi serasa memiliki pantai pribadi. haha.. Seperti yang telah disebutkan tadi, salah satu hambatan yang menjadi pemanis perjalan kami, sepeda motor Yudhi ternyata bermasalah dan beruntung saat itu menemukan bengkel di kawasan jalan yang meliuk seperti ular yang mengitar, pemandangan karst di sana sini dan tentunya kawasan yang tak padat penduduk.